Kenangan
Ramadan Saat Masa Kecil
Masa
kecil tentu mempunyai kenangan tersendiri. Banyak peristiwa yang terbersit di
hati serta menjadi salah satu momen terindah dalam hidup, termasuk kenangan
saat masa kecil menjalani hari-hari di bulan raamdan.
Meskipun
kini meraba-raba, kenangan ramadan saat masa
kecil karena telah terjadi lebih dari seperempat abad yang lalu (ketahuan deh umurnya, hehe), masih
ada beberapa hal yang bisa kuingat. Misalnya awal belajar menjalani puasa.
Kalau tidak salah saat itu masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Mulai
belajar puasa dari sahur hingga jam 10 pagi. Pulang sekolah, aku merasa sudah
sangat kelaparan, hiks. Setelah ada asupan makanan, puasa lagi hingga sore.
Bertahap, aku mulai menambahi jam puasa, mulai buka puasa dari jam 11, jam 12
hingga sore. Tapi lebih sering hingga duhur saja karena belum bisa menahan
lapar, hehe.
Kalau
orang Jawa bilang, puasa yang kujalani seperti yang cerita di atas itu namanya poso bedug. Artinya, ketika bedug duhur
dikumandangkan, lantas berbuka. Ini biasa terjadi pada anak-anak seusiaku saat
itu.
Ketika
di bangku sekolah dasar, aku mulai belajar puasa hingga megrib. Kalau tidak
salah mulai kelas 3. Meskipun aktivitas sekolah tetap berjalan, alhamdulillah
tidak mengganggu ibadah selama Ramadan. Saat itu sekitar tahun 80-an dan
rata-rata anak SD maksimal pulang jam 12 siang, belum ada fullday school, sehingga masih ada waktu untuk istirahat di rumah.
Sore hari masih bisa dimanfaatkan untuk mengaji di surau atau Taman Pendidikan
AlQuran.
Kenangan ramadan saat masa kecil
yang lain yaitu habis tarawih, kami sekeluarga juga dari keluarga padde dan bude
berkunjung ke rumah mbah putri untuk membantu membuat kue semprit, madumongso
dan tapai ketan hijau. Orang-orang dewasa terutama para ibu mulai membuat
adonan hingga kue siap dioven, anak-anak membantu memberi selai di atasnya.
Untuk madumongso, anak-anak yang mulai remaja membantu membungkus dengan kertas
minyak warna merah, hijau dan kuning. Sedangkan untuk tapai hijau, biasa
dibungkus daun pisang hasil kebun sendiri.
Tradisi
yang sudah turun-temurun ini berlangsung selama bertahun-tahun dan berakhir
saat mbah putri meninggal pada tahun 2002, menyusul mbah kakung. Mbah putri
memang mempunyai prinsip agar saat lebaran, kami tidak membeli kue-kue karena
masih bisa membuat sendiri.
Kebiasaan
membuat kue tersebut tidak lain agar kebersamaan keluarga selalu terjaga.
Mungkin ini yang ada di pikiran mbah putri. Hal yang kusadari setelah mulai beranjak
dewasa.
Sayangnya,
kebiasaaan tersebut sudah hilang dalam keluarga kami. Hanya ibuku yang sesekali
masih ingin membuat kue semprit sendiri. Berdua kami sibuk di dapur. Sedangkan
aku, memang lebih sering membeli saja. Lebih praktis saja.
Itulah
beberapa kenangan ramadan saat masa
kecil yang pernah kualami. Kalau teman-teman, apa saja pengalaman di masa
kecil saat Ramadan? Boleh berbagi cerita dong ^^
#30HariKebaikanBPN
#BloggerPerempuan
#Day17
#RamadanSaatMasaKecil
4 Comments
Suka itu mbak, madu mongso sama kue semprit
ReplyDeleteIyesss ... love it banget mbak. Kita samaan ya, suka madu mongso ama kue semprit ^^
DeleteAku gak suka masak.sukanya main..hihihi.
ReplyDeleteTambah seru ya mbak Denik ^^
DeleteTerima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Pastikan Anda mencantumkan nama dan url blog, agar saya bisa berkunjung balik ke blog Anda. Semoga silaturahmi kita terjalin indah ^^