Restu


Restu




"Bapak tidak merestui hubungan kalian," tegas suara Bapak saat kusampaikan ada laki-laki yang ingin bertandang ke rumah.
"Tapi...Pak," sanggahku.
"Tidak ada tapi!" teriak Bapak. Lantas beranjak dari tempat duduk di ruang tamu. Menuju kamar beliau.


Aku terdiam. Isak perlahan tak kuasa terbendung. Ibu yang sedari tadi hanya diam, perlahan mendekati dan memeluk hangat. Aku makin tergugu.

Begitulah. 2 kali aku mengalami kegagalan mendapat restu dari orangtua soal hubungan dengan laki-laki. Meskipun sebenarnya aku bukan tipe pemilih, asal seiman, baik, bisa bertanggungjawab, cukuplah. Toh, nanti bisa berjuang bersama saat berumah tangga.

Tapi tiada daya. Sungguh. Aku bungkam. Patuh pada titah. Tak ingin membuat dan menambah beban, seperti adik yang terpaksa harus dinikahkan. Terlebih saat itu Bapak sakit-sakitan.

Mencoba menerima dengan ikhlas jalan hidup. Ingin membahagiakan orangtua. Itu alasan utama.

Hingga suatu saat, dikenalkan dengan salah satu teman dari rekan kerja. Pria sederhana. Jabat tangannya dingin sekali saat kami berkenalan.

Selang 1 bulan, dia berkunjung ke rumah. Bersama temannya. Meskipun lebih banyak diam, tapi dia seperti mengamati. Aku tidak begitu memperhatikan obrolan. Membiarkan Bapak dan para tamu saling ngobrol, kurasa langkah yang tepat.

Setelah tamu berpamitan, Bapak langsung mendekatiku dan mengatakan, bahwa dia adalah jodohku! Secepat itu beliau mengambil keputusan.

Berbesar hati dan mengingat demi bakti, kebahagiaan orangtua, juga dia memenuhi kriteria calon imam yang baik, aku terima.

Tanpa pacaran, dalam jangka waktu sekitar 5 bulan, dari proses ta'aruf, khitbah hingga menikah.

Usiaku menjelang 27 tahun, dia 29 tahun saat ikrar itu terjadi.

True story

#ceritamini





Post a Comment

6 Comments

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Pastikan Anda mencantumkan nama dan url blog, agar saya bisa berkunjung balik ke blog Anda. Semoga silaturahmi kita terjalin indah ^^