“Mbak, ini bagus lho. Limited edition, pula. Sudah, ambil saja
ya,” rayunya.
“Mmm … gimana ya?” ragu saya
menanggapi. Otak mulai membuat sinyal-sinyal antara mengambil tas itu atau
tidak. Modelnya yang sederhana dengan warna kesukaan sungguh menggoda iman . Bolak-balik saya pegang, membuka resleting dan melihat isinya. Binar mata
yang hadir di sana tidak menampik ketertarikan. Sungguh embuat hati tergoda.
“Lihat deh, Mbak. Tas ini kualitasnya
bagus, lho. Warnanya juga nggak bikin bosan. Terdiri dari dua tas, yang besar
untuk dicangklong, yang kecil bisa dislempang. Meskipun sekarang lagi musimnya
tas dalam bentuk ransel, tapi tas model begini itu bisa mengikuti mode, deh. Selalu up to date,” berapi-berapi si Mbak ini menjelaskan.
Bikin saya tambah galau, gelisah
antara lanjut atau udahan #eh.
“Mmm … harganya berapa, Mbak?” tanya
saya penasaran sekaligus dag dig dug. Terbersit dalam benak bahwa harga ta situ
pasti mahal.
“Ah, nggak mahal kok, Mbak.
Terjangkau banget buat Mbak. Cuma sekian
(sambil dia menyebut sejumlah angka). Jangan
khawatir, Mbak, bisa dicicil, kok. Jadi diambil ya, Mbak. Tas ini cocok buat
Mbak, deh,” kembali dia melontarkan jurus rayuan mautnya.
Mengetahui harga tas dengan sejumlah
angka meskipun si Mbak tadi bilang bisa dicicil, kening saya berkerut. Harga
yang tidak murah tentunya. Otak kembali berputar mempertimbangkan antara
lanjut atau udahan, eh, antara membeli atau tidak.
Setelah beberapa saat berpikir, dan
nggak enak juga si Mbak-nya menunggu lama, sayapun akhirnya mengambil
keputusan. Antara keinginan dan kebutuhan harus dipilih salah satu. Meskipun
tergiur, namun logika ternyata lebih bisa memberontak dan menjadi pemenangnya.
“Mbak, maaf ya. Sepertinya lain kali saja saya mengambil
tasnya. Bagus banget lho sebenarnya modelnya. Tapi, terus terang saja, saya itu
kalau ke kantor memang jarang membawa tas. Yang penting, dompet dan handphone
tidak ketinggalan itu sudah cukup. Sekali lagi saya minta maaf. Nggak apa-apa,
ya?” saya mencoba santun mengajukan permintaan maaf atas penolakan tawarannya.
“Ya, tidak apa-apa sih, Mbak. Lain
kali ambil tas di saya, ya? Eh, atau Mbak mau ambil lainnya? Ini ada gamis,
bagus-bagus lho. Ada blus juga. Model terkini. Nggak mahal kok, tetap bisa
dicicil,” kembali semangatnya menyala menyodorkan beberapa baju pada saya.
Alamak.
Ya, seperti itulah. Mungkin beberapa
diantara kalian ada pula yang mengalami hal seperti saya. Ketika menghadapi suatu
kejadian, yang membuat kita berada di persimpangan jalan (eh), membuat otak
dipaksa berpikir antara keinginan dan kebutuhan.
Memang sih, semua kembali pada diri masing-masing. Memilih untuk tetap
memenuhi keinginan meskipun tidak sesuai kebutuhan, atau memilih untuk menahan
hasrat dan godaan atas dasar pertimbangan masih banyak hal lain yang lebih
penting sesuai kebutuhan.
Tapi, sssttt … tas yang tadi memang
saya idamkan lho. Hahahaha
Semoga yang sedikit ini memberi
manfaat.
≠SelfReminder
≠Inspirasi
4 Comments
iya betul mbak....
ReplyDeleteBetul bahwa apa yang kita inginkan belum tentu kita butuhkan, bukan begitu Mbak Asni? :)
Deleteharus pinter pinter juga sih.
ReplyDeleteTermasuk manajemen diri nih :)
DeleteTerima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Pastikan Anda mencantumkan nama dan url blog, agar saya bisa berkunjung balik ke blog Anda. Semoga silaturahmi kita terjalin indah ^^