Cerbung Bunga Kemuning Bagian 4





Huft … sudah hampir habis, pikir Pandu. Diamatinya sebatang Marlboro yang terjepit diantara ibu jari dan telunjuk. Lantas menjentikkan jari tengah untuk membuang bara yang semakin panjang ke dalam asbak, yang penuh batang rokok berserakan.


Pandu beringsut sedikit dari tempat duduk, lantas mengambil bungkus Marlboro di sudut meja. Dengan sekali buka, terlihat bahwa tak satupun rokok tersisa.

Sial! Makinya dalam hati. Bungkus tak bersalah itu lantas diremas dan dihempaskan begitu saja ke lantai.

Laki-laki itu lantas berdiri menuju tempat tidur. Bukan untuk merebahkan diri, namun mengambil jaket yang tergeletak di sana. Tangan pun bergerak mencari sesuatu di tiap saku jaket. Namun yang dicari tidak ada. Nihil. Dia kecewa. Lalu dilemparnya jaket itu ke tempat tidur.

Pandu menggaruk kepala yang tidak gatal. Sesekali dijambaknya rambut yang semakin panjang. Terkadang mengusap dahi. Terlihat resah dan gelisah menghebat pada diri laki-laki ini.

Bodoh! Bodoh! Mengutuk diri sendiri dalam hati. Dikepalkannya tangan, lantas dipukulkan ke kepala. Berulangkali. Hingga terhenti kala telinga mendengar sesuatu.

“Tok … tok … tok …”

“Pandu, buka pintunya, Nak,” suara Ibu terdengar dari luar kamar.

Seperti orang linglung, tak segera dijawabnya permintaan Ibu.

“Pandu, kau dengar Ibu kan? Buka pintunya sekarang. Dari tadi kamu belum keluar dari kamar. Ibu yakin kau tidak sedang terlelap, sebab bau asap rokok dari tadi tercium. Tidak seperti biasanya kau mengurung diri seperti ini," terdengar nada cemas di luar kamar.

Demi mendengar suara wanita yang dikasihinya, dan tidak ingin beliau bertambah khawatir, Pandu pun melangkahkan kaki, memutar anak kunci dan membuka pintu kamar.

“Masya Alloh … apa yang terjadi? Kenapa kamu, Nak?” pekik Ibu kala melihat Pandu yang kusut masai dengan rambut awut-awutan.

Pandu hanya diam dan tertunduk lesu. Tak berani menatap Ibu.

Lantas kedua tangan nan lembut itu memegang kepala anak laki-lakinya, lalu dihadapkannya wajah agar mereka bisa saling menatap. Namun Pandu tetap tertunduk, tidak berani menatap wajah teduh perempuan itu.
                              
Tiba-tiba, Pandu menjatuhkan diri dan memeluk lutut Ibu. Lirih terdengar suara disertai isak tertahan dari mulut anak sulungnya.

“Maafkan Pandu, Bu …”



#OneDayOnePost
#CerbungBungaKemuning
#Bagian4

Post a Comment

0 Comments