Malam
itu, udara terasa agak panas. Musim kemarau kali ini memang tidak seperti
biasanya. Lebih panjang dan angin sedang malas berhembus. Menambah gerah
suasana di ruang keluarga itu. Ketegangan menghinggapi Bapak, Ibu dan Pandu.
Arum memang tidak dilibatkan karena Bapak melarang.
Pandu
tertunduk tak berani menatap Bapak yang sedari tadi diam membisu, setelah Bapak memintanya untuk menceritakan
kejadian sepulang Pandu dari rumah Sekar. Terlebih pada bagian tentang kehamilan
Sekar.
Bapak
memang ingin mendengar dari mulut Pandu sendiri, meskipun sudah menduga bahwa
terjadi sesuatu antara anak sulungnya dengan gadis itu, serta cerita dari Ibu
Pandu karena dipaksa oleh Bapak untuk menyampaikan kejadian sesungguhnya, tak ayal
membuat hati laki-laki yang berusia menjelang purna tugas sebagai seorang
pengajar itu teriris lagi.
Merasa
gagal mendidik anak, apalagi dengan profesinya sebagai guru yang juga tokoh
masyarakat yang disegani di desa mereka, membuat Bapak seolah kehilangan
martabat dan harga diri.
Diamnya
Bapak ditanggapi Pandu sebagai murka. Diapun bangkit dari tempat duduknya dan
bersimpuh memohon ampun. Demi dilihatnya sikap sang anak, Bapak hanya berkata
lirih.
“Masalah
ini harus segera diselesaikan, Le(1).
Kamu harus bertanggungjawab atas semua perbuatanmu,” kata Bapak tegas sambil
mengelus rambut Pandu.
“Pandu
siap untuk bertanggungjawab, Pak. Mohon doa restu dari Bapak dan Ibu,” jawabnya
mantap.
Tiada
lagi pembicaraan setelahnya. Bapak pun beranjak menuju kamar pribadi dengan
langkah gontai. Pandu hanya bisa memandang punggung Bapak dan dalam hati
merutuki diri penuh penyesalan. Dia telah membuat kecewa Bapak. Merasa tidak
bisa memenuhi harapan orangtua. Namun segera diingatnya akan tekad untuk
menepati janjinya pada kedua orangtua Sekar.
Pandangan
Pandu beralih pada Ibu yang sedari tadi diam. Tanpa banyak bicara, Ibu pun
merangkul buah hatinya yang tengah terluka. Dielusnya kepala anak mbarep(2) nya itu.
Dalam
diam, Pandu merasakan kasih Ibu begitu dalam. Tanpa disadari, butiran airmata
membasahi pipinya.
.
Pagi
itu, sehari setelah Pandu mengantar Sekar pulang, tiba-tiba rumah Pandu
kedatangan tamu. Sekar dan kedua orangtuanya serta seorang sopir, berkunjung.
Bapak,
Pandu dan Arum yang akan berangkat kerja, terpaksa hari itu membolos demi
menyambut tamu penting bagi mereka.
.
Suasana
terlihat tegang saat pertemuan terjadi antara keluarga Pandu dan keluarga
Sekar. Papa yang masih belum bisa menjaga emosi, seolah terus menyalahkan
Pandu. Namun Mama terus berusaha menenangkan Papa. Sekar sesekali terlihat tak
bisa menahan isak.
Meskipun
sempat terjadi suasana yang tidak nyaman, namun akhirnya kedua belah pihak
sepakat untuk segera menikahkan Pandu dan Sekar sebelum kehamilan gadis itu
semakin besar. Namun ada syarat yang harus dipenuhi oleh Sekar atas permintaan
Papa.
Baca
juga : Cerbung Bunga Kemuning Bagian 18
Catatan
- Le : dari kata ‘thole’ (panggilan untuk anak laki-laki, Jawa)
- Mbarep : anak sulung (Jawa)
#OneDayOnePost
#TantanganCerbung
#Bagian19
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Pastikan Anda mencantumkan nama dan url blog, agar saya bisa berkunjung balik ke blog Anda. Semoga silaturahmi kita terjalin indah ^^