Bagai
langit runtuh menimpa Papa dan Mama kala mendengar kalimat yang keluar dari
mulut Sekar. Bergetar tubuh mereka seolah tak percaya dengan apa yang didengar.
Papa yang tak bisa menahan emosi pun menggelegarkan suaranya.
“Apa?
Kok bisa? Siapa yang menghamilimu? Laki-laki gembel itu? Dasar b****gan!” geram Papa. Tangan terkepal dan wajah
memerah menahan amarah.
Sekar
hanya tertunduk diam. Tak tahu harus menjawab apa. Tangisnya menderas. Mama
terduduk lemas di tepi tempat tidur kamar Sekar. Tiba-tiba Papa keluar dari
ruangan itu dengan tergesa. Dituruninya anak tangga dengan langkah-langkah
lebar. Saat itu hanya satu yang diinginkannya. Menemui pemuda itu, dan …
‘Plak!!!’
Pandu
yang sedari tadi diam tertunduk, segera berdiri kala melihat Papa-nya Sekar
datang menghampiri. Belum juga posisi tegak berdiri, orangtua itu sudah
mendaratkan telapak tangannya di pipi kiri anak muda itu. Sedikit terhuyung,
Pandu sontak kaget dan memegang pipi yang terasa panas. Ada sedikit darah segar
keluar di sudut bibir. Perih.
“Dasar
gembel! Kamu apakan anakku? B****at!
Laki-laki tidak berguna!” hardik Papa yang ditujukan pada Pandu. Tak hanya itu,
bertubi-tubi kata demi kata dan sumpah serapah pun terus mengalir deras dari
mulutnya.
Pandu
hanya tertunduk diam. Sebenarnya dia sudah siap dengan perlakukan itu, namun
tak ayal tubuhnya bergetar dan dada terasa sesak mendengar cacian dari Papa-nya
Sekar. Dalam diam terselip harap dan doa agar diberi kekuatan menghadapi sikap laki-laki
berperawakan sedang, berkulit bersih dengan kacamata yang selalu bertengger di
hidungnya yang tengah murka itu.
Melihat
Pandu hanya diam saja, Papa yang masih dalam keadaan emosi, lantas mendekati,
mencengkeram kerah baju pemuda itu dan bersiap melayangkan bogemnya. Bersamaan
dengan itu, terdengar teriakan.
“Papa!!!”
seru Mama dan Sekar bersamaan mencegah tindak anarkis Papa. Mereka berdua
sontak menuruni anak tangga demi mendengar teriakan Papa yang begitu membahana
memenuhi ruang tamu mereka.
“Sudah,
Pa. Sudah …” cegah Mama demi melihat suaminya hendak memukul pemuda itu. Tangan
Mama erat mencekal lengan Papa. Isak perempuan bertubuh mungil, langsat warna kulit
tubuh dan selalu berdandan layaknya wanita karir masa kini itu mulai terdengar.
Make up-nya mulai luntur tersapu
tangis yang menderas.
Tiba-tiba
…
“Papa,
maafkan Sekar. Aku yang salah. Mas Pandu tidak bersalah, ampuni dia. Aku
mohon,” Sekar pun bersimpuh dan memeluk kaki Papa yang masih berdiri terpaku
dengan tangan terkepal, memandang penuh kebencian pada Pandu.
Hening
beberapa saat. Hanya isak tangis dari Mama dan Sekar masih terdengar. Napas
Papa yang tersengal menahan emosi mulai surut.
Melihat
situasi panas mulai reda, Pandu pun angkat bicara.
“Bapak
dan Ibu, mohon maaf atas kelancangan saya ini. Perkenankan saya menyampaikan
sesuatu. Saya …” belum selesai Pandu berbicara, Papa sudah menyela.
“Diam
kamu! Apalagi yang mau kau katakan?” emosi Papa tersulut kembali.
“Pa,
biarkanlah dia bicara. Tahan emosi Papa. Beri dia kesempatan menjelaskan semua.
Kita memang sedang kalut. Tapi menghadapi masalah ini dengan kepala panas tidak
akan menyelesaikan masalah, Pa,” bijak Mama meminta pengertian Papa.
Sekar
yang kaget dengan sikap Mama yang biasanya meledak-ledak namun kali ini
bersikap tenang dan bijak, hanya diam sekaligus membenarkan sikap Mama, meski
itu terucap dalam hati.
“Tapi,
Ma …” Papa masih mencoba untuk bertahan dengan egonya.
“Mama
mohon pengertian Papa,” tegas nada bicara terdengar dari mulut Mama. Lantas
meminta Pandu untuk menjelaskan permasalahan yang tengah terjadi.
“Katakan
apa yang ingin kau sampaikan pada kami. Siapa tadi namamu? Pandu?” Mama mencoba
mengingat.
“Terima
kasih, Pak, Bu atas pengertian dan kesempatan yang diberikan pada saya. Ijinkan
saya memohon maaf atas kelancangan sikap dan tutur kata sehingga menimbulkan
kekacauan di keluarga ini. Rasanya tak perlu panjang lebar yang ingin saya
sampaikan. Pada intinya, saya dan Dik Sekar memang menjalin hubungan dan kami
saling mencintai. Kami memang khilaf, tidak bisa menahan gejolak jiwa muda,
hingga Dik Sekar hamil, berdasarkan hasil tes di dokter kandungan, dan usia
kandungan sudah 2 bulan. Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir, saya akan
bertanggungjawab penuh pada Dik Sekar. Sekali lagi, saya mohon maaf atas semua
ini,” dengan tenang Pandu mengatakan semua, meski gemuruh di dada tak bisa
dicegah.
Ketenangan
Pandu membuat suasana hening beberapa saat, hingga Papa kembali bicara.
“Apa
kamu siap menafkahi? Memangnya mau dikasih makan apa anakku nanti?” tanya Papa
dengan nada sinis.
“In
syaa Alloh saya siap menafkahi, Pak. Saya sudah bekerja, meskipun dengan gaji
tak seberapa, tapi saya rasa cukup untuk menghidupi Dik Sekar dan keluarga
kecil kami nantinya. Apapun akan saya lakukan untuk Dik Sekar dan calon anak
kami nanti,” mantap nada suara Pandu menjawab keraguan Papa.
“Kamu
yakin?” selidik Papa.
“Yakin,
Pak. Saya bisa membahagiakan Dik Sekar. Saya janji! Kami hanya butuh restu dari
Bapak dan Ibu” ucap Pandu tanpa ragu.
Papa
terdiam. Ada sesuatu dalam pikirannya, lantas memandang ke arah Mama dan Sekar
Baca
juga : Cerbung Bunga Kemuning Bagian 17
#OneDayOnePost
#TantanganCerbung
#Bagian17
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Pastikan Anda mencantumkan nama dan url blog, agar saya bisa berkunjung balik ke blog Anda. Semoga silaturahmi kita terjalin indah ^^