Hembusan
angin kemarau di lereng Gunung Wilis yang kencang membuat gigil badan. Meski
sudah berjaket tebal, tak pelak dingin dirasakan. Sekar pun semakin merapatkan
tubuhnya di boncengan Pandu.
Pandu
melajukan motor dengan hati-hati. Jalanan berkelok bahkan terkadang melewati
turunan tajam membutuhkan kewaspadaan tinggi. Sekar yang baru pertama kali
berkendara motor dengan Pandu merasakan sensasi tersendiri. Meski ada rasa
khawatir, namun resah terobati kala memandang area persawahan membentang hijau.
Sesekali aroma cengkeh menguar membuat Sekar berulangkali menghirup baunya.
Sungguh suatu keadaan yang menakjubkan baginya.
Suasana
pedesaan telah jauh tertinggal. Jalanan perkotaan mulai dirasa. Terik matahari
menyengat terasa menusuk. Debu-debu berebut melekatkan diri pada wajah para
pengendara, termasuk Pandu dan Sekar.
Namun
dibalik itu, ada sesuatu yang membuat Sekar merasakan kegalauan.
Kekhawatiran-kekhawatiran merasuki pikirannya sejak semalam. Tentang pertemuan
kedua orangtuanya dengan Mas Pandu. Hanya harap semoga Papa dan Mama tidak di
rumah sehingga pertemuan itu tidak terjadi.
.
Harapan
Sekar tidak menjadi nyata. Papa dan Mama telah menunggu kedatangannya. Mereka
pun memeluk erat anak kesayangan seolah tak ingin kehilangan lagi. Tangispun
pecah antara Mama dan Sekar. Papa hanya menahan gemuruh dalam dada. Adegan
mengharukan yang terjadi membuat Pandu dan Bik Tun yang menyaksikannya turut
larut dalam suasana.
Saat
kedua orangtua itu membimbing Sekar masuk ke dalam rumah, tiba-tiba gadis itu
menyeru teringat seseorang yang sedari tadi diam mematung.
“Mas
Pandu, ayo masuk! Maaf sampai lupa! Pa, Ma, kenalkan ini Mas Pandu,” sambil
melepaskan genggaman tangan kedua orangtuanya, Sekar menghampiri Pandu yang berdiri
di pojok teras lantas menghelanya dan memperkenalkan laki-laki itu pada Papa
dan Mama-nya. Pandu hanya diam menuruti keinginan gadis itu.
Papa
dan Mama hanya diam terpaku menyaksikan sikap Sekar yang manja pada laki-laki
muda itu. Uluran tangan Pandu disambut dingin oleh mereka, sedingin telapak
tangan laki-laki itu saat berjabatan dengan kedua orangtua Sekar. Pandangan
menyelidik tersirat dari kedua mata Papa saat melihat sosok pria muda berjaket
tebal, dengan rambut ikal yang sedikit gondrong dan jambang yang mulai muncul.
.
Lantai
marmer putih bermotif abstrak terasa bagaikan lautan salju kala telapak kaki
Pandu menginjaknya. Suasana hening mencekam terlebih tak seorangpun menemani di
ruang tamu yang sangat luas dan mewah itu. Sofa empuk yang didudukinya tak
mampu membuatnya nyaman. Pandu merasa duduk di kursi pesakitan.
Sudah
setengah jam lebih sejak dia dipersilakan masuk dan duduk di sofa itu, sosok
Sekar dan kedua orangtuanya belum lagi muncul dan membiarkannya seorang diri
berkawan sepi.
Tiba-tiba
terdengar sebuah teriakan dari lantai atas.
“Pa,
tapi kami saling mencintai. Papa tidak bisa begitu saja memisahkan kami!”
teriak Sekar disertai tangis menderas dan napas tersengal. Dadanya sesak.
“Papa
tidak setuju! Kamu harus selesaikan kuliahmu! Apa yang bisa diharapkan dari
laki-laki gembel macam dia!” hardik
Papa murka.
“Tapi,
Pa …” Sekar berusaha membela diri.
“Tidak
ada tapi,” Papa kembali berteriak keras.
Tangis
Sekar makin menjadi. Ditengah derasnya airmata, tubuh Sekar berguncang. Dia
merasa tak kuat lagi menahan beban. Tanpa berpikir panjang, lantang dia
berteriak.
“Sekar
hamil, Pa …”
#OneDayOnePost
#TantanganCerbung
#Bagian17
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Pastikan Anda mencantumkan nama dan url blog, agar saya bisa berkunjung balik ke blog Anda. Semoga silaturahmi kita terjalin indah ^^