Cerbung Bunga Kemuning Bagian 17






Hembusan angin kemarau di lereng Gunung Wilis yang kencang membuat gigil badan. Meski sudah berjaket tebal, tak pelak dingin dirasakan. Sekar pun semakin merapatkan tubuhnya di boncengan Pandu.

Pandu melajukan motor dengan hati-hati. Jalanan berkelok bahkan terkadang melewati turunan tajam membutuhkan kewaspadaan tinggi. Sekar yang baru pertama kali berkendara motor dengan Pandu merasakan sensasi tersendiri. Meski ada rasa khawatir, namun resah terobati kala memandang area persawahan membentang hijau. Sesekali aroma cengkeh menguar membuat Sekar berulangkali menghirup baunya. Sungguh suatu keadaan yang menakjubkan baginya.


Suasana pedesaan telah jauh tertinggal. Jalanan perkotaan mulai dirasa. Terik matahari menyengat terasa menusuk. Debu-debu berebut melekatkan diri pada wajah para pengendara, termasuk Pandu dan Sekar.

Namun dibalik itu, ada sesuatu yang membuat Sekar merasakan kegalauan. Kekhawatiran-kekhawatiran merasuki pikirannya sejak semalam. Tentang pertemuan kedua orangtuanya dengan Mas Pandu. Hanya harap semoga Papa dan Mama tidak di rumah sehingga pertemuan itu tidak terjadi.

.

Harapan Sekar tidak menjadi nyata. Papa dan Mama telah menunggu kedatangannya. Mereka pun memeluk erat anak kesayangan seolah tak ingin kehilangan lagi. Tangispun pecah antara Mama dan Sekar. Papa hanya menahan gemuruh dalam dada. Adegan mengharukan yang terjadi membuat Pandu dan Bik Tun yang menyaksikannya turut larut dalam suasana.

Saat kedua orangtua itu membimbing Sekar masuk ke dalam rumah, tiba-tiba gadis itu menyeru teringat seseorang yang sedari tadi diam mematung.

“Mas Pandu, ayo masuk! Maaf sampai lupa! Pa, Ma, kenalkan ini Mas Pandu,” sambil melepaskan genggaman tangan kedua orangtuanya, Sekar menghampiri Pandu yang berdiri di pojok teras lantas menghelanya dan memperkenalkan laki-laki itu pada Papa dan Mama-nya. Pandu hanya diam menuruti keinginan gadis itu.

Papa dan Mama hanya diam terpaku menyaksikan sikap Sekar yang manja pada laki-laki muda itu. Uluran tangan Pandu disambut dingin oleh mereka, sedingin telapak tangan laki-laki itu saat berjabatan dengan kedua orangtua Sekar. Pandangan menyelidik tersirat dari kedua mata Papa saat melihat sosok pria muda berjaket tebal, dengan rambut ikal yang sedikit gondrong dan jambang yang mulai muncul.

.

Lantai marmer putih bermotif abstrak terasa bagaikan lautan salju kala telapak kaki Pandu menginjaknya. Suasana hening mencekam terlebih tak seorangpun menemani di ruang tamu yang sangat luas dan mewah itu. Sofa empuk yang didudukinya tak mampu membuatnya nyaman. Pandu merasa duduk di kursi pesakitan.

Sudah setengah jam lebih sejak dia dipersilakan masuk dan duduk di sofa itu, sosok Sekar dan kedua orangtuanya belum lagi muncul dan membiarkannya seorang diri berkawan sepi.

Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan dari lantai atas.

“Pa, tapi kami saling mencintai. Papa tidak bisa begitu saja memisahkan kami!” teriak Sekar disertai tangis menderas dan napas tersengal. Dadanya sesak.

“Papa tidak setuju! Kamu harus selesaikan kuliahmu! Apa yang bisa diharapkan dari laki-laki gembel macam dia!” hardik Papa murka.

“Tapi, Pa …” Sekar berusaha membela diri.

“Tidak ada tapi,” Papa kembali berteriak keras.

Tangis Sekar makin menjadi. Ditengah derasnya airmata, tubuh Sekar berguncang. Dia merasa tak kuat lagi menahan beban. Tanpa berpikir panjang, lantang dia berteriak.

“Sekar hamil, Pa …”



#OneDayOnePost
#TantanganCerbung
#Bagian17









Post a Comment

0 Comments