“Kamu
harus bisa menjaga diri, Pandu. Harus bisa menahan godaan apapun yang terjadi.
Bapak merasa ada sesuatu antara kamu dengan Sekar,” urainya malam itu.
Nalurinya mengatakan terjadi hubungan lebih dari sekadar pertemanan antara anak
laki-lakinya dengan gadis muda itu, namun urung diutarakan.
“Kalian
masih muda, pasti ada gejolak yang menghentak mempengaruhi kalian saat bersama.
Ingat Pandu, kamu harus bisa lebih bersikap dewasa dan ngemong. Harus bisa mengingatkan Sekar bila mulai menunjukkan sikap
lain. Bukan Bapak menganggap dia perempuan penggoda, tapi sebagai laki-laki,
kamu harus bisa lebih menahan diri,” kalimat terakhir disampaikan Bapak dengan
sedikit penekanan. Ada getar dalam dadanya.
Pandu
masih diam tertunduk. Membenarkan penjelasan Bapak, namun tak mampu menanggapi.
Peristiwa demi peristiwa yang tak mampu dielaknya kembali berkelebat. Kedua
tangan saling meremas pertanda hati yang gelisah. Sikap Pandu tak luput dari
pengamatan Bapak. Beliau tahu, ada yang disembunyikan dari anak mbarep(1)-nya ini.
“Besok
kamu harus mengantar Sekar pulang. Bila bertemu orangtuanya, sampaikan dengan
jelas kejadian yang menimpanya. Kamu harus bersikap baik, tenang dan dewasa.
Jangan sampai mereka berpikiran yang tidak-tidak karena anak gadisnya menginap
di rumah laki-laki yang belum halal baginya. Kamu juga harus siap bila sikap
mereka mungkin kurang menyenangkan. Terimalah sebagai konsekuensi. Tetaplah
santun, jaga sikap dan bicaramu. Ingat itu!” perintah Bapak.
“Injih(2), Pak,” santun Pandu
menjawab.
“Oiya,
kalian besok naik motor saja. Tidak perlu membawa mobil,” sambung Bapak tanpa
menjelaskan maksud dari perintah tersebut agar Pandu tidak berkendara, dengan
mobil kijang grand extra biru metalik keluaran tahun 1995 milik mereka. Lantas Bapak
beranjak dari ruang keluarga, meninggalkan Ibu dan Pandu. Perempuan yang sedari
tadi diam lantas mendekati anak laki-lakinya dan mengelus kepala penuh sayang.
Dalam
diam, laki-laki muda ini tahu, kasih Ibu yang begitu dalam telah dibalasnya
dengan luka. Lembut terasa tangan perempuan yang telah melahirkannya, membuat
Pandu begitu menyesal dan semakin merasa bersalah.
Sementara
itu, Sekar yang menguping pembicaraan mereka dari balik tembok yang menghalangi
dinding kamar tamu dan ruang keluarga, berjingkat pelan dan kembali ke kamar,
demi dilihatnya Bapak beringsut menuju kamar pribadi.
Sekar
duduk di tepi tempat tidur. Hatinya gelisah. Bilakah kedua orangtuanya bertemu
Mas Pandu? Apa yang akan terjadi?
Catatan
:
(1) Mbarep : anak sulung (Jawa)
(2) Injih : iya
(Jawa)
≠OneDayOnePost
≠TantanganCerbung
≠Bagian16
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Pastikan Anda mencantumkan nama dan url blog, agar saya bisa berkunjung balik ke blog Anda. Semoga silaturahmi kita terjalin indah ^^