Senja
mulai menampakkan wajahnya. Semilir angin menyapa, hembusnya menyejukkan. Sekar
dan Pandu duduk berdampingan di teras samping.
“Mas,
aku ingin menyampaikan sesuatu, boleh?” pinta Sekar pelan.
“Katakan
saja, Sayang. Ada apa?” lembut Pandu berkata sambil mengelus tangan gadisnya.
Diri ingin sekali merengkuh dalam pelukan untuk meredakan kegalauan sang kekasih,
namun urung dilakukan. Hanya tatapan mesra dan usapan lembut di punggung tangan
mengisyaratkan rasa.
Meski
tanpa kata, Sekar tahu dan mengerti akan sikap Mas Pandu. Entah kenapa, kali
ini dia pun bersikap lembut, tidak ingin semanja biasanya.
“Kok
jadi diam, tadi mau bilang apa, Sayang?” Pandu mengingatkan Sekar.
“Oh
… iya. Mas, bolehkah aku menginap di rumahmu malam ini? Rasanya masih ingin
menenangkan diri,” ujarnya pelan.
“Oh,
tentu saja. Aku akan senang sekali. Hehe … Tapi ada baiknya, Mas minta ijin
pada Bapak dan Ibu, ya. Nggak apa-apa, kan? Mmm … yakin deh, mereka pasti setuju kamu menginap malam ini. Kan calon mantu.”
Pandu mengerling pada Sekar yang menatapnya lembut.
Reflek
tangan mungil itu mencubit lengan kekar sosok disampingnya. Pandu pun pura-pura
mengaduh sakit. Lantas berdua tertawa.
Tanpa
sepengetahuan mereka, ada seseorang yang mengamati mereka dari dalam rumah
sambil mengernyitkan dahi. Pemandangan tak biasa tengah terjadi di rumah
mereka. Kemesraan dua insan itu mengusik hatinya.
.
“Ayo,
Nak Sekar, tambah lagi nasinya,” kata Ibu sambil menyodorkan tempat nasi pada
Sekar.
Bapak,
Ibu, Pandu, Arum dan Sekar tengah makan malam di rumah sederhana itu.
“Matur
nuwun, Bu, sudah cukup. Masakan Ibu enak sekali,”pujinya tulus.
“Ah
… cuma seadanya, Nak. Tidak seperti masakan di rumah Nak Sekar yang pasti
enak-enak, to.”
Sekar
terhenyak. Teringat kala dia seringkali makan hanya berkawan sepi. Sendirian.
Tak ada kehangatan dan kemesraan keluarga seperti di rumah Mas Pandu. Hatinya
pedih. Papa dan Mama nyaris tidak ada waktu untuknya. Rindupun menggelegak.
Tiba-tiba, pipinya basah.
“Lho,
Nak Sekar. Ada apa? Apa ada yang salah dengan omongan Ibu?” nada khawatir
terdengar dari perempuan paruh baya itu saat dilihatnya Sekar menangis.
“Oh
… tidak, Bu. Maaf membuat khawatir. Sekar hanya rindu suasana seperti ini,”
jelasnya.
“Nak
Sekar, sudah, jangan nangis. Ayo makan lagi. Ini masakan kesukaan Bapak. Sayur
lodeh, brengkes pindang. Wuih … pokoknya maknyus! Wes (1), nggak usah takut gemuk, wong badan cuma sak uprit gitu. Nih, kayak Bapak, gothot(2)! Hahaha …” kelakar
Bapak sambil menunjukkan lengannya yang gemuk.
Semuapun
tertawa melihat ulah Bapak. Tak terkecuali Sekar.
Malam
itu, Sekar menginap di rumah Pandu.
.
Di
kamar tamu, Sekar merebahkan diri. Kebahagiaan menjalari tubuh perempuan mungil
ini. Kerinduan akan kehangatan sebuah keluarga sangat dirasakannya saat berada
ditengah keluarga Pandu. Makan malam yang istimewa menorehkan rasa. Sekar
merasa dekat dengan mereka.
Tiba-tiba,
bayangan Papa dan Mama berkelebat. Ingin menghubungi mereka, namun Sekar sangsi
akan kepedulian orangtuanya. Kesibukan seolah mengabaikan keberadaan anak
perempuan mereka, yang rindu akan peluk hangat dan kasih sayang . Tak urung
hatinya kembali sedih.
Namun
Sekar tak ingin orangtuanya khawatir meskipun mungkin mereka akan bersikap
cuek. Bermaksud tetap menghubungi mereka, diapun merogoh handphone di dalam tas. Dilihatnya benda itu, ternyata mati! Ah,
dia lupa membawa charger pula,
pikirnya. Lantas beringsut akan meminjam alat itu pada Mas Pandu. Sekar pun
keluar dari kamar.
Langkah
pun terhenti ketika mendengar namanya disebut oleh suara laki-laki yang tak asing
bagi Sekar.
Baca
juga : Cerbung Bunga Kemuning Bagian 14
Catatan :
(1)
Wes : sudah
(2)
Gothot : kekar
≠OneDayOnePost
≠TantanganCerbung
≠Bagian15
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Pastikan Anda mencantumkan nama dan url blog, agar saya bisa berkunjung balik ke blog Anda. Semoga silaturahmi kita terjalin indah ^^