“Mama
sih, sibuk banget sama urusan
kerjaan, sampai lalai ngurus anak. Papa
kan sudah bilang, Sekar itu urusan Mama! Kalau sudah begini, bagaimana?” Papa
bersungut menyalahkan Mama.
“Enak
saja urusan Mama! Sekar kan juga anak Papa! Ya urusan Papa juga dong!” elak Mama.
“Tapi
pekerjaan Papa tuh nggak bisa
ditinggalin, Ma. Apalagi akhir-akhir ini banyak masalah di kantor,” jelas Papa
sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Mama
juga sibuk, Pa. Kerjaan juga lagi banyak-banyaknya,” sambung Mama.
“Ah
… Sekar nih! Udah besar masa’ minta diawasin terus, harus
diingatkan terus kapan waktunya pulang? Bikin
pusing saja!” keluh Papa.
“Iya,
nih, mana hape tidak aktif pula?
Kemana saja itu anak? Sudah jam segini!”
Mama masih mengomel panjang sambil mencoba menghubungi lagi Sekar lewat handphone-nya.
Lantas
hening beberapa saat di ruang keluarga rumah besar itu. Ruang bercat putih yang
cukup luas dengan seperangkat sofa set
di tengahnya, yang ditempati Papa dan Mama. Ada juga televisi layar datar
berukuran besar menempel di dinding dengan wallpaper
bertema retro.
“Ma
…” kata Papa pelan membuka pembicaraan memecah sunyi.
“Mama
resign aja deh. Buat apa kerja kalau
anak nggak terurus? Biar Papa aja
yang kerja. Lagipula, apa sih yang kurang di rumah ini? Semua fasilitas ada.
Rumah sudah segede gini, mobil udah
pegang semua, Bik Tun juga masih setia ikut kita. Sekar anak kita satu-satunya,
Ma. Dia butuh pengawasan dan kehadiran orangtua. Papa dan Mama sudah terlalu
sibuk dengan urusan masing-masing. Selama ini kita banyak ninggalin dia, Ma.
Papa khawatir terjadi apa-apa dengan Sekar,” urai Papa panjang lebar.
“Lho
…, Pa. Kok jadi Mama yang harus berkorban?” sungut Mama. Tentu saja rasa
jengkel menghinggap. Namun dalam hati sebenarnya membenarkan sikap Papa.
“Ma,
yang ngerti sedikit dong. Sekar itu
butuh kita! Orangtuanya! Kalau kita terus sibuk, kapan ada waktu buat dia?
Lagipula, Mama kan ibunya. Harusnya memang lebih banyak waktu bersamanya. Biar
Papa saja yang kerja!” kembali nada tinggi terdengar dari mulut laki-laki ini.
“Iya,
Mama ngerti. Tapi kan tidak semudah itu, Pa. Masih banyak yang harus Mama
beresin dulu,” Mama menjawab tak kalah sengit.
“Pokoknya
Mama harus segera resign!” perintah
Papa.
“Tapi
… Pa,” Mama masih berusaha mengelak.
“Tidak
ada tapi …”
Mama
masih berusaha mempertahankan argumennya. Kembali pertengkaran terjadi di rumah
itu hingga Bik Tun yang berada di dapur bisa mendengar dengan jelas. Perempuan
itu hanya bisa mengelus dada. Diapun gelisah. Bukan karena pertengkaran kedua
majikannya, tapi karena momongan yang
selalu dekat dengannya. Ya, Non Sekar-nya. Kemana gerangan dia sekarang berada?
.
Sementara
itu, di rumah Pandu, Sekar menceritakan peristiwa kecelakaan yang menimpanya di
hadapan Ibu, Pandu dan Arum. Terbata-bata sambil terisak menahan beban,
disampaikannya kronologi kejadian yang tak terduga. Belum selesai Sekar bicara,
tiba-tiba terdengar deru suara motor memasuki halaman rumah.
“Assalamu’alaikum,”
sapa suara itu. Ternyata Bapak.
“Wa’alaikumsalam,”
kompak seisi rumah menjawab.
“Eh
… ada tamu,” kata Bapak ketika melihat Sekar berada di ruang tamu mereka.
Lantas diulurkannya tangan.
Sontak
Sekar berdiri dan menyambut uluran tangan Bapak lantas mencium dengan takzim.
Bapak terkejut dengan sikap gadis itu. Demikian juga Ibu, Pandu dan Arum.
Baca
juga : Cerbung Bunga Kemuning Bagian 13
#OneDayOnePost
#TantanganCerbung
#Bagian14
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Pastikan Anda mencantumkan nama dan url blog, agar saya bisa berkunjung balik ke blog Anda. Semoga silaturahmi kita terjalin indah ^^