Cerbung Bunga Kemuning Bagian 14






“Mama sih, sibuk banget sama urusan kerjaan, sampai lalai ngurus anak. Papa kan sudah bilang, Sekar itu urusan Mama! Kalau sudah begini, bagaimana?” Papa bersungut menyalahkan Mama.

“Enak saja urusan Mama! Sekar kan juga anak Papa! Ya urusan Papa juga dong!” elak Mama.


“Tapi pekerjaan Papa tuh nggak bisa ditinggalin, Ma. Apalagi akhir-akhir ini banyak masalah di kantor,” jelas Papa sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Mama juga sibuk, Pa. Kerjaan juga lagi banyak-banyaknya,” sambung Mama.

“Ah … Sekar nih! Udah besar masa’ minta diawasin terus, harus diingatkan terus kapan waktunya pulang? Bikin pusing saja!” keluh Papa.

“Iya, nih, mana hape tidak aktif pula? Kemana saja itu anak? Sudah jam segini!” Mama masih mengomel panjang sambil mencoba menghubungi lagi Sekar lewat handphone-nya.

Lantas hening beberapa saat di ruang keluarga rumah besar itu. Ruang bercat putih yang cukup luas dengan seperangkat sofa set di tengahnya, yang ditempati Papa dan Mama. Ada juga televisi layar datar berukuran besar menempel di dinding dengan wallpaper bertema retro.

“Ma …” kata Papa pelan membuka pembicaraan memecah sunyi.

“Mama resign aja deh. Buat apa kerja kalau anak nggak terurus? Biar Papa aja yang kerja. Lagipula, apa sih yang kurang di rumah ini? Semua fasilitas ada. Rumah sudah segede gini, mobil udah pegang semua, Bik Tun juga masih setia ikut kita. Sekar anak kita satu-satunya, Ma. Dia butuh pengawasan dan kehadiran orangtua. Papa dan Mama sudah terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Selama ini kita banyak ninggalin dia, Ma. Papa khawatir terjadi apa-apa dengan Sekar,” urai Papa panjang lebar.

“Lho …, Pa. Kok jadi Mama yang harus berkorban?” sungut Mama. Tentu saja rasa jengkel menghinggap. Namun dalam hati sebenarnya membenarkan sikap Papa.

“Ma, yang ngerti sedikit dong. Sekar itu butuh kita! Orangtuanya! Kalau kita terus sibuk, kapan ada waktu buat dia? Lagipula, Mama kan ibunya. Harusnya memang lebih banyak waktu bersamanya. Biar Papa saja yang kerja!” kembali nada tinggi terdengar dari mulut laki-laki ini.

“Iya, Mama ngerti. Tapi kan tidak semudah itu, Pa. Masih banyak yang harus Mama beresin dulu,” Mama menjawab tak kalah sengit.

“Pokoknya Mama harus segera resign!” perintah Papa.

“Tapi … Pa,” Mama masih berusaha mengelak.

“Tidak ada tapi …”

Mama masih berusaha mempertahankan argumennya. Kembali pertengkaran terjadi di rumah itu hingga Bik Tun yang berada di dapur bisa mendengar dengan jelas. Perempuan itu hanya bisa mengelus dada. Diapun gelisah. Bukan karena pertengkaran kedua majikannya, tapi karena momongan yang selalu dekat dengannya. Ya, Non Sekar-nya. Kemana gerangan dia sekarang berada?

.

Sementara itu, di rumah Pandu, Sekar menceritakan peristiwa kecelakaan yang menimpanya di hadapan Ibu, Pandu dan Arum. Terbata-bata sambil terisak menahan beban, disampaikannya kronologi kejadian yang tak terduga. Belum selesai Sekar bicara, tiba-tiba terdengar deru suara motor memasuki halaman rumah.

“Assalamu’alaikum,” sapa suara itu. Ternyata Bapak.

“Wa’alaikumsalam,” kompak seisi rumah menjawab.

“Eh … ada tamu,” kata Bapak ketika melihat Sekar berada di ruang tamu mereka. Lantas diulurkannya tangan.

Sontak Sekar berdiri dan menyambut uluran tangan Bapak lantas mencium dengan takzim. Bapak terkejut dengan sikap gadis itu. Demikian juga Ibu, Pandu dan Arum.







#OneDayOnePost
#TantanganCerbung
#Bagian14


Post a Comment

0 Comments