SESAL



“Kesayangan Bunda, sudah bangun?” tanyaku sambil mengecup keningnya. Segaris senyum terkembang saat kusodorkan segelas susu hangat untuknya.
Adit meraih gelas dan menandaskan susu dalam sekejap. Aku tersenyum saat melihat sebaris putih di atas mulutnya.
“Bun ... Adit minta maaf, ya.” Tiba-tiba terucap dari mulut mungilnya.
“Kenapa, sayang?” heranku.
“Bunda tidak marah lagi, kan?” ada isak terdengar.
Aku terhenyak. Ada sesal.
*****

Pagi itu kuawali hari seperti biasa. Rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Serasa waktu berjalan cepat, hingga kudengar rengekan manja dari dalam kamar.
“Bun ... susu!” suara Adit baru bangun tidur.
“Ya, sayang, sebentar ya!” sahutku.
“Cepat, Bun.” Lantangnya.
“Iya ... iya.” Tergopoh aku menyanggupi.  Susu hangat untuknya. Aku beranjak pergi.
“Bunda jangan pergi dulu. Temani Adit.” Rengeknya.
“Sayang ... Bunda masih harus menyiapkan sarapan untuk Ayah. Sebentar lagi Ayah berangkat kerja, Nak. Adit habiskan dulu susunya, ya?” Kuusap lembut kepalanya.
“Ndak mau!”  teriaknya.
“Adit ... ayolah, jangan merengek,” bujukku.
“Pokoknya Adit mau ditemani Bunda.” Makin keras teriakannya.
“Baiklah ... baiklah. Tapi sebentar saja ya.” Akhirnya aku mengalah.

Tidak seperti biasanya, Adit hari ini begitu menyita perhatian dan waktuku. Biasanya dia mandiri, mandiri secara anak usia 3,5 tahun. Mulai dari susahnya kusuruh mandi, padahal pagi segera berlalu.
“Adit ... ini sudah siang, ayolah mandi. Bunda sudah siapkan semua,” gerutuku.
“Sebentar, Bun.” Jawabnya.
Kutengok. Ya ampun, malah asyik dengan mainannya.
“ Adit ... udahan mainnya. Ayo mandi!” perintahku.
“Tapi, Bun,” elaknya.
“Tidak ada tapi. Ayo mandi!” tegasku.
Meski agak terpaksa, Adit mengikuti langkahku ke kamar mandi.
Seharian aku bersamanya, sambil kukerjakan aktivitas lain. Biasanya, Adit asyik dengan mainannya. Tapi hari ini, entah kenapa, aku merasa dia rewel sekali. Memintaku terus menemani. Meski aku bujuk melihat serial Upin Ipin kegemarannya, tetap saja tak mau ditinggal. Padahal aku belum memasak untuk makan siang.
“Bun ... itu Upin Ipin dimarahi Kak Ros. “ tunjukknya.
Ya, sayang.”  Sambil kupetik sayuran.
“Bun ... lihat itu. Upin mengejar Ipin. Lari-lari. Bunda lihat sini dong.” Ditariknya tanganku.
“Aduh, Adit. Bunda kan masih memetik sayuran buat makan siang. Bunda lihat kok.” Gerutuku.
“Bunda ndak usah masak. Temani aku lihat TV aja!” Mulai deh rewel.
“Hmmm ... baiklah. Tapi sebentar ya. Nanti Bunda lanjutin masak.” Aku mengalah.
Terlihat rona bahagia di wajahnya. Adit langsung menghambur ke aku,menciumiku. .

Hari sudah siang kala aku hampir menyelesaikan semua. Lumayan capek. Karena aku harus berlarian antara menemani Adit dan menyelesaikan pekerjaan. Biasanya semua selesai meski hari masih pagi. Ingin sejenak aku merebahkan diri. Mumpung dia masih asyik dengan mainannya, pikirku. Baru saja kepalaku menyentuh bantal, dia mengusik.
“Bun ... bacakan aku cerita, di buku ini, yang ada gambar bebek.” Disodorkannya bacaan yang memang sengaja kubeli untuknya. Dia punya beberapa.
Tanpa menjawab, aku ambil buku itu, kubacakan cerita. Aku sedikit terkantuk. Adit kesal. Digoyang-goyangkannya tubuhku.
“Bunda jangan tidur. Bacakan lagi, Bun.” Sambil disodorkannya buku yang lain.
Sedikit malas kubacakan lagi cerita. Adit menyimak dengan tenang.

Aku ingin Adit tidur siang, tapi sepertinya itu hanya angan. Dia malah mengajak aku keluar rumah,  main ke tetangga. Aku malas. Mana panas, pula. Aku ingin dia main di dalam rumah saja. Tapi, Adit memaksaku, menarik tanganku supaya mengikuti. Sepertinya dia bosan di dalam rumah. Dengan terpaksa aku turuti keinginannya.
“Adit ... ayo pulang dulu. Bobok ya. Adit kan capek seharian sudah main.  Ntar sore kan Adit pingin ke mushola seperti biasa, belajar ngaji dengan teman-teman.” Bujukku.
“Adit ndak mau!” Teriaknya.
“Ya ... tapi kita pulang ya. Bunda juga capek, nih!” Pintaku dengan lembut.
Aku agak memaksanya. Meski terpaksa, dia mau menuruti permintaanku. Tapi aku salah duga. Dia tak mau tidur siang. Dikeluarkannya semua mainan dari dalam kardus. Melihat itu, emosiku hampir tersulut. Aku sudah capek-capek membersihkan rumah.
Tapi Adit tak peduli.
Dikeluarkannya juga buku menggambar dan pensil warna. Berhamburan semua. Berserakan. Tak hanya itu, tangan kreatifnya pun menjelajah ke seluruh tembok rumah. Meskipun aku sudah membelikan whiteboard, tapi seolah papan itu hanya penambah hiasan di rumah ini.

*****
Mandi sore pun sama susahnya dengan pagi hari. Adit masih asyik sendiri. Sebentar lagi Ayahnya pulang. Aku ingin semua sudah bersih dan rapi saat kami menyambut kedatangannya. Biasanya Adit sudah rapi jam segini. Tapi tidak untuk sore ini. Aku kembali emosi.

Malam menjelang. Bulan telah menampakkan sinarnya. Adit masih menggodaku. Mengajak bermain di luar rumah. Mengajak ke rumah teman-teman.
“Adit ... teman-teman sudah tidur. Mereka capek bermain. Adit kan juga capek.” Bujukku.
“Ndak, Bun. Adit pingin main.”  Ditariknya tanganku. Memaksaku mengikuti.
“Tidak, Adit. Hari sudah malam. Adit juga harus bobok. Bunda capek. Dari tadi kamu tidak mau berhenti main.” Aku sedikit membentak.
“Adit masih mau main, Bun.” Dia merengek terus.
“Tidak!” Bentakku. Aku sudah tak tahan.
Ayahnya menghampiri.
“Ada apa, Bun? Kok teriak-teriak.Ini sudah malam.”
“Adit tuh, Yah. Pingin main terus. Aku capek, ayah. Seharian belum istirahat. Entah kenapa hari ini Adit rewel dan minta main terus.” Aku menjelaskan.
Suamiku lantas memeluk Adit, mengajaknya bicara. Membujuknya supaya segera tidur. Agar kami juga bisa segera istirahat.
“Adit ingin main, Yah.” Kembali dia merajuk. Lantas menarik tanganku lagi.
“Tidak, Adit! Bunda capek. Kalau  kamu  mau main, main sana!” Kukibaskan tanganku. Aku tak bisa menahan emosiku.
Adit terdiam. Beringsut menjauh. Suasana hening.  Sejenak aku terpaku. Apa yang baru saja kulakukan padanya? Kuhampiri Adit. Aku memeluknya dan minta maaf.
“Maafkan  Bunda ya sayang.” Aku menyesal sudah membentaknya.
Adit terdiam. Kudengar isak.  Pelukanku  makin erat. Kugendong dia, kubawa ke kamar. Kudekap. Kuusap lembut rambutnya. Tanpa suara. Dalam diam, akhirnya dia terlelap.
Sesekali kudengar sengguk di sela tidur malamnya. Ah, aku makin menyesal.

*****
Dan pagi ini, seolah dia masih menyimpan lara. Ingat dengan  kejadian semalam. Hingga  sapa pagi padaku hanya sebaris kalimat.
“Bunda sudah tidak marah lagi, kan?” Adit menunggu jawab.
Kupeluk dia. Dalam diam, aku menyesal.











Post a Comment

0 Comments