“Apa-apaan ini,
Zain?” enggan menerimanya.
“Lah...
kau pernah bilang ingin dikenalin ke temanku, siapa tahu jodohmu di dia.” Zain
menggoda.
“Jodoh?” Aku
terhenyak.
“Heh... malah
bengong. Haa... pasti kesengsem ama yang di foto ini ya?” Zain mengagetkan.
“Apa sih,
Zain?” Sial. Ketahuan aku melamun.
Boro-boro ngelamunin tu cowok. Liat fotonya aja ogah. Malas menanggapi ulahnya,
aku memilih keluar ruangan.
“Hei... Farah.
Gimana sih? Kok malah pergi?” teriak Zain. Pura-pura tidak mendengar dan
kukibaskan tangan, tanda tak ingin diganggu.
Galau. Di usia lebih seperempat abad, status masih sendiri, tanpa pacar, tanpa
kekasih, apalagi calon pendamping hidup. Teringat komentar orang, hatiku pedih.
‘Kalian pikir aku tidak resah? Aku bukan pemilih. Apa memilih calon suami itu
semudah membalik telapak tangan? Aku bukan tipe perempuan kurang pergaulan.
Teman lelaki maupun perempuan banyak. Tapi, jodoh? Aku terusik.
*******
Suatu hari, kala obrolanku dengan Bapak.
“Nduk ...”
Bapak memulai obrolan
“Dalem, Pak.”
Santun aku menjawab.
“ Bapak mulai
tua, sering sakit-sakitan. Sebentar lagi pensiun.” Bapak pegawai kabupaten yang
puluhan tahun mengabdi dan menjelang pensiun.
“Teman-teman
Bapak sudah mantu, kapan giliran Bapak?”
Jleb! Kok Bapak
langsung ke inti ya, pikirku. Aku diam menunduk.
“Kamu
udah punya pacar apa belum to? Kalau sudah, mbok dikenalin ke Bapak. “ selidik
Bapak.
“Belum, Pak.
Farah belum pacaran. Pinginnya nanti kalau ada yang mendekat, bila cocok, Bapak
dan Ibu ridho, langsung dikhitbah dan kami menikah.” Jawabku diplomatis.
“Bagus itu,
Nduk. Bapak setuju. Semoga segera ada laki-laki yang mau ta’aruf denganmu.
Bapak do’akan. Aku ingin segera mantu, hehe,” Bapak terkekeh. Ada binar di
sana.
“Aamiin...injih,
Pak,” aku pun tersenyum.
Aku merenungi obrolan dengan Bapak. Sosok pendiam, pekerja keras, dan sayang
keluarga. Belakangan kami memberi perhatian lebih karena kesehatannya sering
memburuk. Penyakit gula membuatnya sering keluar masuk rumah sakit. Pagi
itu aku berangkat kerja dengan hati gamang. Obrolan dengan Bapak membuat
benak bertanya, apakah memang sudah saatnya?
“Hayo...
ngelamun lagi!” teriakan Zain menyentak.
“Haduuh...
Zain. Tak bisakah kau tidak mengganggu? Pagi-pagi sudah bikin orang sewot
saja!” gerutuku.
“Habis kamu.
Pagi seindah ini malah dibawa manyun. Ada apa, sih?” Zain penasaran. Lantas
mengambil kursi, kami duduk berhadapan.
Zain ... sebenarnya orangnya ramah, tapi suka usil. Sudah menikah. Sering
menggodaku untuk dikenalkan pada teman-teman cowoknya. Kejadian foto tempo hari
bukan yang pertama. Tak kuhiraukan ulahnya ini. Dia pun sering menanyakan
kesendirianku. Diaanggapnya terlalu pemilih, banyak kriteria, bahkan pernah dibilang
aku tidak suka lelaki. Kurang ajar dia. Aku perempuan normal, masih suka cowok,
hanya belum ada yang sreg.
“Farah... ada apa? Kalau soal foto kemarin memngganggumu, aku minta maaf
deh.” Zain merasa bersalah.
“ Bukan, Zain.
Bukan soal itu.” Jawabku.
“Lantas soal
apa?” penasaran dia.
“Soal, Bapak.”
Pilu mengingat beliau.
“Bapak kenapa?
Sakit?” Zain khawatir. Aku pernah cerita padanya tentang kesehatan Bapak.
“Bapak baik
saja, kok. Ya... kau tahu, akhir-akhir ini memang kesehatannya sering menurun.
Ini soal obrolanku dengan beliau.” Jelasku.
“Hmmm...
memangnya apa yang kalian obrolkan?” sambil membetulkan posisi duduknya.
“Bapak ingin
segera punya mantu.” Langsung aku menjawab.
“Apa? Ha...
ha... ha...” terbahak-bahak Zain mendengar penjelasanku. Perutnya yang buncit
tergoncang-goncang.
“Zain! Tidak
ada yang lucu!” sungutku. Sebal.
“Farah ...
Farah. Apa kubilang? Bapakmu saja ingin segera punya menantu. Kamu aja yang sok
jaim. Sok tak peduli.” Lagi-lagi Zain mengolokku.
“Sudahlah, ndak
usah pilih-pilih. Calon yang kusodorkan kemarin, yang aku kasi lihat fotonya,
itu pas buatmu. Orangnya baik, pintar mengaji, anak seorang kyai, sudah S2,
dosen, kalem pula. Klop deh ama kamu yang suka meledak-ledak.” Promosi nih.
“Satu lagi,
ntar kalian bisa memperbaiki keturunan. Kamu kan mungil, rame. Nah dia, kalem,
postur tinggi besar. Klop deh!” masih juga olokannya.
“Zain! Kurang
ajar kamu, ya.!” Sambil kutimpuk dia dengan gulungan kertas. Zain menghindar.
Tepat saat itu, sesosok tubuh berdiri kaku memandangi kami. Wajahnya merah
padam. Gulungan kertas ada di tangannya.
*******
Kesunyian malam membuatku betah berlama dengan Sang Kekasih. Kucurahkan semua
rasa. Mohon petunjuk atas segala resah. Aku ingin menemui Zain. Foto itu. Apa
salahnya mencoba. Aha. Itu dia. Sedang asyik dengan handphonenya. Dia tak tahu
aku datang.
“Zain!” kutepuk pundaknya.
“Farah!
Ngagetin aja. Aduuhh... aku lagi asyik nih. Tinggal dikit lagi, menang. Uuh...
kamu. Gagal lagi deh.” Gerutunya.
“Maaf ... maaf.
Ada yang mau kuomongin nih.” rajukku.
“Ada apa, Tuan
Putri. Mau curhat apa?” selidiknya.
“Zain ... aku
mau lihat foto dia yang tempo hari.” kutahan gemuruh di dada. Aneh. Kenapa ada
debar sekencang ini..
“Cie ...
beneran nih? Ntar kena timpuk lagi.” Zain mulai menggoda.
“Aku serius,
Zain. Ayolah, kasih lihat. “ pintaku.
“Oke ... oke.
Untuk Farah, apa sih yang tidak.” Sambil tersenyum menggoda. Zain mengambil
sesuatu dari dalam laci meja.
“Ini, Tuan Putri. Semoga berkenan.” disodorkannya sebuah foto. Kali ini tidak
sekilas. Wajahnya bersih. Rambutnya ikal. Kutaksir usianya tak jauh denganku.
Pandang matanya teduh. Kembali debar menerjang.
“Zain... coba
atur waktu buat kami bertemu. Di rumahmu saja. “ hampir tak percaya kusampaikan
ini.
“Hah! Beneran
nih?” Zain membelalakkan mata tak percaya.
“Aku tak
akan mengulangi. Ini perintah Tuan Putri.” berkacak pinggang kuperintahkan dia.
Aku tersenyum.
“Hamba bersedia
melakukannya, Tuan Putri.” Zain membungkukkan badan. Terbahak-bahak aku
melihat ulahnya.
*******
Hatiku berdebar. Menunggu. Aku di rumah Zain. Ditemani Nisa, istrinya dan
Husain, anak mereka yang baru berumur setahun, sedang asyik bermain
pesawat-pesawatan dengan Zain.
“Mbak Farah,
ayo diminum. Ntar keburu dingin, lo.” Nisa mengingatkan.
“Eh ... iya
iya.” Aneh. Kenapa aku berdebar sekali. Keringat dingin membasahi tubuh.
“Fa ... udah,
tenang aja. Dia bakalan datang kok. Masih dalam perjalanan. Duduk manis aja
situ.” Zain mulai deh, pikirku.
Aku melirik Nisa.
Untung Nisa tidak menghiraukan. Aku melotot dan menggelengkan kepala tak suka.
Zain tersenyum simpul.
“Assalamu’alaikum.” Tiba-tiba terdengar salam.
“Wa’alaikumsalam.”
Kompak kami bertiga menjawab.
“Ha ... Ikhsan.
Apa kabar, kawan?” Zain dan Ikhsan berpelukan akrab.
“Alhamdulillah,
baik.” jawab laki-laki itu.
“Ayo, masuk ...
masuk. Maaf ya, agak berantakan. Maklum, Husain lagi mainan nih.” Zain
mempersilahkan masuk Aku mendengar dari balik tembok. Sembari membayangkan
sosok laki-laki ini. Siapa tadi? Ikhsan? Mereka mengobrol ringan. Bernostalgia.
Tiba-tiba Zain memanggil Nisa.
“Bunda, tolong bawakan minuman kemari. Sepertinya tamu kita kehausan nih.”
“Ya, Yah .
Sebentar.” Sahut Nisa berlalu ke dapur, membuatkan minuman. Sebentar kemudian
muncul membawa dua cangkir teh hangat.
“Nah... kamu
pasti masih ingat kan, istriku yang paling cantik ini.” Kata Zain ke Ikhsan.
“Ya, tentu
saja. Mbak Nisa, apa kabar?” Ikhsan mengajak bersalaman.
“Alhamdulillah,
baik, mas Ikhsan.” Sambut Nisa.
“Bun... tolong
ajak Farah ke sini ya.” bisiknya. Nisa mengangguk dan berlalu.
Aku yang sejak tadi mendengar pembicaraan mereka dari balik tembok tiba-tiba
merasakan degup jantung makin berdetak kencang. Aku kaget dan terjungkal saat
Nisa tiba-tiba sudah ada disampingku. Nisa tersenyum.
“Mbak
Farah ngapain disitu? Nguping ya? Hehe.” Pergoknya.
Aku salah
tingkah. Merah padam.
“Mbak, ayahnya
Husain minta mbak Farah ke ruang tamu. Ayo, aku temani juga.” Nisa menggamit
tanganku. Nisa pasti geli. Tanganku sedingin es. Kami melangkah ke ruang
tamu.
“Naah ... ini dia. San ... ini lo, cewek yang kuceritakan itu. Dan, Farah, ini
cowok yang di foto itu. Ayo, kenalan.” Perintah Zain padaku dan cowok itu.
Sial. Kami dianggap anak TK. Awas kau, Zain, makiku dalam hati.
Kami saling berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing. Alamak. Tak beda,
tangannya jauh lebih dingin saat kurasakan kulit kami bersentuhan. Dan gemetar.
Kami ngobrol ramai-ramai. Kami lebih banyak mendengar Zain dan Nisa saling
berkelakar. Degup jantungku masih ada.
******
Sejak pertemuan di rumah Zain, bisa dihitung dengan jari Ikhsan menghubungiku.
Itupun hanya sms menanyakan kabar. Kukira, dia tak ingin hubungan kami
berlanjut lebih serius. Aku pun tak berharap lebih. Hingga suatu hari, dua
bulan sesudahnya, dia sms. Ingin bertemu orangtuaku. Mendadak sekali, pikirku.
Tapi baiklah, apa salahnya bertemu Bapak. Mengiyakan dan memberinya kesempatan.
Dia datang tepat waktu.
Sebelumnya, aku sudah cerita ke Bapak dan Ibu, tentang dia. Orangtuaku
mengijinkan. Aku pun lega. Ikhsan pun bertemu Bapak. Sengaja kutinggalkan
mereka ngobrol berdua. Sepertinya cocok. Obrolan nyambung. Setelah Ikhsan pamit
pulang, Bapak membisikkan sesuatu di telingaku.
“Bapak rasa, dia jodoh yang tepat untukmu.” Beliau mengusap kepalaku.
Aku hanya
tersenyum.
0 Comments
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Pastikan Anda mencantumkan nama dan url blog, agar saya bisa berkunjung balik ke blog Anda. Semoga silaturahmi kita terjalin indah ^^